Tepi Tangga
Aku suka main di masjid
kampung.
Iya
sih, masjid, tapi dengan brutal diubah jadi arena bermain oleh aku dan beberapa
teman. Sambil nunggu giliran ngaji kita suka ber-inisiatif membuat berbagai
permainan. Zaman itu zaman normal, zaman anak-anak seumuranku lebih suka main
game yang melibatkan olah badan daripada olah jari.
Sore
itu aku main buaya-buayaan, dengan dua tiang sebagai posnya. Kita harus lari melewati sebuah
samudra sepanjang lima meter. Iya. Samudra. Samudranya kutu beras. Dengan penuh
semangat aku berlari ke sana kemari.
Lawanku-yang
jadi penjaganya-adalah seorang anak kecil, ceritanya kita ini adalah
buaya-buaya brutal yang lari-larian gila gara-gara kebanyakan minum molto.
Beberapa temenku mencoba menipu sang penjaga.
Penjaganya
bernama Sella dan dia adalah anak kecil gempal, cedal, pendek dan kalo lari
sambil nadahin ingus. Untung lucu.
Permainan
dimulai lagi. Dan kita akan berlari lagi dari pos satu ke pos dua (sesungguhnya
permainan ini sangat monoton, teman). Dari lima orang yang jadi buaya tiga
diantaranya sudah menyelesaikan misinya. Tinggal aku dan Sinta.
Tanpa
ada hujan, petir dan sebangsanya muncul-lah sebuah gerobak, tepatnya gerobak
bakwan kawi. Penjaga samudra itu tergiur, matanya bercahaya, taringnya keluar,
tatapannya menyorot. Aha!
Ini
dia
Kesempatan
emas
Samudra
lenggang, penjaganya sedang menikmati detik-detiknya menatap si bakwan kawi.
Ini
kesempatan kita berdua untuk melancarkan misi kita. Untuk menyatakan bahwa kita
adalah calon atlet lari sambil salto yang jago ngesot. Kita setuju bahwa aku
yang akan mimimpin aksi ini, Sinta ada di belakang.
Aku pun
berlari sekuat tenaga
Lalu
Seperti
ada slow motion
Langkah menjadi pelan
Jarak
dengan pos semakin dekat. Semakin dekat. Dekat. Lalu aku mengayunkan kaki
menuju sasaran. Aku bisa merasakannya. Bau kemenangan.
Dengan
sekuat tenaga, aku menapakkan kaki kiri ke pos.
Sambil
teriak “AAAAAAH!!”
GEDEBUK!
Sinta
menginjak kaki kananku.
Aku
sukses jatuh dengan posisi eksotis, tepi tangga yang tajem itu sukses nyium
bawah bibir. Pandangan gelap semenit. Entah udah berapa gayung darah yang
mengucur dari bagian bawah bibir luar dan dalem, waktu ini sebenernya nggak ada
rasa sakit sedikit pun. Ustadzah dan anak anak lain menghampiri. Disitu aku
mendapati gigi bawah mundur tanpa perlu dibehel, ajaib.
Begitu
pulang ke rumah, aku langsung masuk kamar.
Besoknya
bibir bawah itu jadi gede, monyong-monyong seksi, ada sariawan segede kolam
ikip dibekas darah kemarin. Rasanya kayak digelantungin gajah, buka mulut itu
butuh perjuangan. Aku tetap bersikeras buat tetep berangkat sekolah dengan
secarik kain tisu.
Nggak
perlu kaget. Semuanya ketebak teman-teman pada ngatain bibirku yang dengan
ajaibnya berubah jadi super seksi ini. Aku mengutuk mereka jadi helm ciduk.
Pulang
sekolah bapak nyuruh aku buat periksa di puskemas. Dan dokternya bilang kalo
aku harus dioperasi.
Jeger
Bapak
dan aku pandang-pandangan dan sama-sama bernafsu buat mukul-mukul manja dokternya.
Niat baik itu kami urungkan.
Aku
dan keluarga sepakat memutuskan untuk nggak mengikuti keinginan dokternya itu,
karena selain kaget. Iya kaget. SUMPAH INI SARIAWAN HARUS DIOPERASI??!
Jadi
yaudah lah ya
Kun
fayakun
Beberapa
hari setelahnya sariawanku sembuh
Setelah
melewati masa masa sulit mangap
Tapi bekas bibir bawahnya masih
belom ilang sampai sekarang.
Hal yang bisa diambil dari cerita hiperbola semacam ini adalah :
1. Kamu boleh seneng seneng tapi
jangan sampai membahayakan diri sendiri
2. Banyak makan minum vitamin c
agar supaya tidak sariawan
3. Ini jam 23:52 dan aku jadi
pengen bakwan kawi
4. Beliin

Komentar
Posting Komentar